Rizqi Amalia
Saya membongkar kotak di tumpukan paling bawah lemari. Mencari-cari sebungkus rokok oleh-oleh teman dari Aussie beberapa waktu lalu. Saya butuh rokok. Mungkin sebatang atau dua bisa menenangkan malam ini. Saya diserang sesuatu. Tangan saya bergetar seirama dengan bibir dan air mata saya meleleh tidak karuan. Saya kacau sekali. Alat tulis yang tersusun rapi di atas meja berjatuhan ke lantai. Saya mencari pematik.

"Ahh..", gumam saya ketika menemukan pematik warna putih. Alat yang biasa saya pakai untuk menyalakan lilin tiap kali aliran listrik terputus.

Saya bakar dan hisap dalam-dalam sebatang rokok sampai terbatuk dan dada terasa sesak. Saya hisap lagi, terbatuk lagi. Saya bukan perokok, dan malam ini saya tahu bagaimana rasanya jadi perokok amatiran. Tawa saya keluar, terkekeh sambil menangis. Lalu melempar pematik yang saya pegang dengan erat. Saya tertawa lagi, kali ini lebih seru. Dan tangis saya meledak.

Ya, saya menangis, entah untuk apa. Mungkin hilang sudah kuasa saya melawan serangan rasa. Badan lemas yang bersandar pada sisi tempat tidur ini terasa makin melemah. Hanya mata yang terjaga begitu lama dengan pandangan tertuju pada asap rokok yang perlahan meninggi dan hilang di udara. Andai saya bisa membakar semua dan membiarkan udara membiasnya dengan gerakan perlahan. Andai rasa tak berbekas.

Bara api di tangan mengagetkan saya. Rokok habis terbakar dengan dua kali isapan dan enam menit lamunan. Saya buang sembarang sisa rokok tadi. Saya benci seperti ini, benci merasa kalut. Tangan saya, bibir masih gemetaran. Saya butuh sesuatu yang lain. Sesuatu yang bisa menenangkan, seseorang, mungkin.

Namanya kopi. Hitam, pekat, pahit. Dan saya sedang mencampurnya dengan sesendok gula pasir juga air panas. Mudah-mudahan ini bisa. Semoga kafein tidak mengulang kegagalan serupa seperti sejawatnya, nikotin. Ya, mudah-mudahan. Saya mengaduknya dengan kasar sampai tercecer. Tangan bergetar hebat, saya dihantui perasaan buruk.

Saya tinggalkan si kopi tanpa menyentuhnya. Jantung saya berdetak tanpa irama dengan nafas yang terasa makin berat. Saya percepat langkah menuju kamar, mengelus dada, dan terisak lagi. Getaran dari dalam makin kuat. Saya belum berhenti menangis bahkan ketika gerimis berjatuhan satu per satu ke bumi dan makin deras. Saya gemetaran. Ketakutan.