Rizqi Amalia


Gua bangun jam 3 subuh, mandi bebek terus langsung cabut ke tempat Dinni. Sebenernya agak heran kenapa dia minta gua dateng lebih pagi, karena kami kan berangkat dari Halim dan Halim deket dari Kebagusan. Gua pede. Tapi ternyata kami berangkat dari Soeta. Makan tuh pede!

Proses di bandara ya seperti biasa. Iya, seperti biasanya Citilink ngaco dalam penempatan gate. Ditulisnya gate 4 taunya gate 1. Kan gua jadi lari pagi-pagi bareng Dinni. Hhhh!! Satu pesawat tuh nungguin kita. Bodo dah! Yang penting berangkat. Hahaha..


Sekitar jam 7an kita udah sampe di Bandara H. AS. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Perjalanan cukup singkat dan ga ada perbedaan waktu sama Jakarta. Sampe sana kita dijemput sama Bang Abi (yang mukanya ngantuk banget kayak ga tidur semaleman) dan Bang Evry (bukan, bukan Evryday alias everyday, tapi Evry Frank! Ngeri ga lo?!). Bang Evry minta kita nunggu di kantin karena masih ada anggota open trip lainnya yang belum dateng. Dia juga nawarin gua minum, tapi mukanya rese pas gua bilang, “Air mineral aja.”.. Yeeee! Situ oke?! *kibas jilbab*

Sekitar 30 menit, akhirnya anggota open trip yang lain dateng, ada Mba xxx, Mba yyy, dan Mas zzz.. Iya, abis kenalan langsung lupa namanya. Biasa dah, penyakit lama. Dalam perjalanan menuju hotel, gua dan Dinni diantar Bang Abi, sedangkan 3 orang lainnya sama Bang Evry. Hotel tempat kita nginep ga jauh, sekitar 15 menit dari bandara. Yang asik dari perjalanan menuju hotel adalah aspal mulus dan ga macet. Luar biasa.

Sesampainya di hotel, kami kenalan lagi dengan 4 anggota open trip lainnya. Mereka terlihat akrab dengan 3 orang sebelumnya dan akhirnya gua tau kalau mereka saling kenal dan suka travelling bareng. Dan yak! Yang 3 aja ga inget namanya, apalagi yang 4 (idih!). Memang luar biasa gua ini. Pede aja dulu, salaman dengan pasti lalu ke kamar sambil sebelumnya melempar senyum semanis madu murni cap sarang tawon. HAH!

Di kamar gua pandang-pandangan sama Dinni. “Lumayan lah ya buat harga segitu?”, tanyanya. Gua ngangguk. Dia tau kalo gua ga gitu rewel soal fasilitas dan sebagainya. Gua rebahan. Dinni rebahan.

“Lo liat ga tadi tuh orang-orang mukanya kayak apa?”, gua membuka percakapan.
“Kenapa?”, Dinni heran.
“Orang-orang kayak gitu mau lo semprot gas air mata?!”, kata gua lagi dan tawa kami pecah.

Ini open trip gua yang pertama. Dulu-dulunya ya jalan bareng temen, ikut komunitas, atau jalan sendiri. Tapi yang bener-bener ga tau latar belakang orang yang akan bareng sama gua selama 4 hari 3 malem ya baru ini. Sedangkan Dinni udah beberapa kali ikutan open trip. 

Gua orangnya gampang terbuai, gampang percaya, dan kasihan sama orang. Di sisi lain, Dinni sangat preventive dan waspada. Gua suka kombinasi kita berdua. Jadi, kalau gua terlalu percaya, Dinni akan ngingetin. Sebaliknya, kalau gua merasa Dinni udah berlebihan curiganya, gua mecahin suasana. Jadi, buat Akang, Teteh, dan sadayana, jika membaca postingan ini, mohon maaf sebelumnya ya! Hahaha..

30 menit gogoleran di kamar, kami akhirnya diajak nyobain mie khas Belitong, namanya Mie Belitong (yaiyalah!). Tempatnya ga jauh dari hotel. Sekitar 10 menit, mungkin kurang. Gua dan Dinni memisahkan diri. Maksudnya biar membaur dan kenal sama yang lain, ga maen berdua doang gitu. Lagian males kan.. Setiap hari udah bareng Dinni, masa jalan-jalan kudu berduaan mulu kayak biji. Iya, biji mata maksudnya. 

Gua bareng Stefanus, Ibek, dan Deasy ditemenin Bang Abi. Sedangkan Dinni dan 4 orang lainnya, yang gua belum tau namanya saat itu bareng Bang Evry. Sambil makan, tentunya kita kenalan lagi. Nanya nama, kerjaan, dan hal-hal basic. Gua butuh banyak ngobrol untuk tau seperti apa karakter dari mereka dan akhirnya merasa nyaman.

Beres makan Mie Belitong, kami lalu ke Teluk Gembira yang terletak di Kecamatan Membalong. Sepanjang perjalanan kami ngobrol dan nyanyi-nyanyi serta tanya ini itu ke Bang Abi. Lagi, aspal mulus dan ga macet itu sesuatu banget! 



Sampai di sana gua langsung gatel pas liat air biru jernih dan bersih gitu. Pengen banget nyebur! Tapi gua tahan demi masa depan gemilang (apa sih?!). Gua tahan aja karena masih penasaran sama tempat yang lain. Sedikit gambaran tentang Teluk Gembira: air bersih, jernih, ada beberapa batu granit ukuran sedang (dan kebanyakan berada di tepinya). Pasirnya agak kecoklatan, tepinya ditumbuhi pohon pinus dan pohon kelapa. Teluk Gembira juga dipakai sebagai dermaga untuk menyeberang ke Pulau Seliu. Saat itu ada 2 kapal yang nangkring dan siap antar sampai jam 5 sore.


Keadaan di sekitar Teluk Gembira agak berantakan saat itu. Mereka sedang merenovasi daerah tersebut, jadi ya maklumin aja. Tapi tenang, keindahannya tetap tak terkalahkan. Sumpah! (pake sumpah biar pada percaya. Dih..). Kata Bang Evry, Teluk Gembira ini jarang dikunjungin travel agent lain karena terbilang kurang tenar. Dan emang cuma rombongan kita doang sih ketika itu yang ada di sana. Jadi berasa punya pantai pribadi. Hehe. Menurut gua, worth it lah buat lo datengin dan foto-foto.
   
Masih di Kecamatan Membalong, dari Teluk Gembira kita menuju Pantai Penyabong. Jaraknya ga jauh dan along my way there, gua lihat ada batu granit segede gaban yang disebut Batu Baginda. Ga begitu jelas asal usulnya, tapi ya itu batu emang gede banget sih. Pantai Penyabong buat gua somehow terlihat lebih seksi daripada Teluk Gembira. Airnya sama jernih, pasirnya lebih putih dan masih agak kasar, banyak batu granit yang guede dan asik aja mandanginnya. Pengen nyebur juga tapi (lagi-lagi) gua tahan. Di sekitaran pantainya banyak pohon pinus dan beberapa warung tenda. Lo bisa nikmatin pemandangan laut sambil minum es kelapa pakai gula aren. Seger! Tersedia juga toilet dan mushola. Sayang, toilet di sini kurang terawat.


Miris seribu kali miris. Di pantai yang indah mempesona ini terjadi tragedi pahit dan menyedihkan yang tentunya sedikit banyak memengaruhi kesenangan kami. Kamera Dinni kecebur dan mati di tempat. I was shocked. Dinni apalagi. She loves the camera more than she loves her husband; camera is her life dan itu mati sekarang. Mukanya pucet, mau nangis. Gua bingung harus ngapain. Dinni mandangin gua. Gua mandangin dia. Dinni  dan gua mandangin kamera. 


“Lo tau kan gimana perasaan gua, Ki?!”, teriaknya nahan tangis. Gua puk-puk pundaknya, “Nangis aja, pan lo pake kacamata item. Ga ada yang tau.”. Dinni diem terus bolak balik nelpon temennya yang paham soal perkameraan. Gua tau dia masih kepikiran banget. Apalagi minggu depan ada jadwal motret yang tentunya merluin si kamera. Hhhh.. Jadi ga poll aja senengnya. Tapi ya.. Gua berusaha hibur dengan muka gua yang imut (iya, IMUT! Apa lo?!) dan kelakuan bloon gua. Dinni ketawa sih, tapi masih keliatan sedihnya. Ah poor you! Sini peluk..U u u..


Kami menghabiskan waktu lumayan lama untuk foto-foto nista, makan siang, dan sholat di sini. Dari situ mulai keliatanlah karakter masing-masing orangnya dan mulai inget sama nama-namanya. Ada Kang Yudi, Teh Iva, Teh Deasy, Ibek, Lucky, Stefanus, dan Irfan. Gua mulai nyaman juga ngobrol bareng mereka dan akhirnya makin akrab.

Batu Mentas adalah tujuan kami berikutnya. Batu Mentas terletak di kaki Gunung Tajam, Kecamatan Badau, Belitong Barat. Aksesnya sudah bagus dan mulus. Sepanjang jalan kita bisa menikmati deretan pohon lada yang menjadi salah satu khasnya Belitong juga. Suasana di Batu Mentas relatif sepi pengunjung. Dan mungkin karena sepi ini pula, jadi lebih berasa menyatu dengan alamnya (ihiy!). Rimbunnya pohon dan segarnya bau tanah basah setelah hujan menemani perjalanan gua di sini. Batu Mentas ini semacam sungai dengan ciri asli kawasan Belitong: banyak batu granit. Sebenernya sih dataran tinggi, ya tapi udaranya ga dingin-dingin amat. 



Di sana tersedia fasilitas outbond, bisa river tubing juga. Sayang dari beberapa bulan lalu jarang turun hujan jadi air sungainya surut. Ada juga beberapa hewan yang jarang gua temui seperti burung hantu, ayam mutiara, dan ikon fauna Belitong, Tarsius bancanus saltator (warga Belitong menyebutnya Pelilean). Badan monyet, muka burung hantu, buntut tikus, golongan darahnya O. Dia monogami dan sangat setia. Kalau pasangannya mati, dia ikut mati. Hiks! Sweet banget yaa..


Tarsius ini ternyata udah jarang banget dan terancam punah. Mungkin karena banyak lahan dibuka untuk perkebunan sawit dan apapun itu yang menyebabkan kerusakan hutan lainnya. Nocturnal yang imut ini bisa memutar kepalanya 180 derajat tanpa mengubah posisi tubuhnya, lho. Unik kan?! Dia juga terbilang tidak agresif dan bisa didekati. Tapi kalau kalian mau foto, matiin dulu ya flash-nya, biar si Tarsius ga stress.

Tujuan akhir di hari pertama adalah Danau Kaolin. Dinamakan Danau Kaolin ya karena kawasan ini bekas galian bahan tambang kaolin (clay) yang merupakan salah satu kekayaan tambang Belitong. Hasil tambang kaolin ini digunakan untuk bahan baku pabrik cat dan kosmetik. Tapi.. Dampak negatifnya ya seperti yang gua dan kalian liat saat ini, kerusakan lingkungan. Sama seperti penambangan timah, bekas galiannya akan membentuk semacam danau yang airnya berwarna biru dan mencemari air sungai. Miris memang, tapi gua ga bisa bilang kalau Danau Kaolin ini ga memukau. Apalagi kalau cuaca sedang terik, warna airnya menjadi lebih biru, lebih cantik.       


Hari beranjak senja, kami menuju Pantai Tanjung Pendam untuk menikmati sunset. Pantai Tanjung Pendam terletak di pusat kota yang dikelola pemda setempat. Tiket masuknya Rp. 2000,- aja per orang. Di sini terdapat kafe dan warung-warung tenda yang menjual berbagai minuman dan snack. Gua ngobrol sama Bang Evry dan Bang Abi, Dinni sibuk sama Popmie, dan yang lain asik foto-foto sambil menikmati sunset. 

Abang dua ini bilang, kebiasaan anak muda Belitong adalah nongkrong (dan pacaran) di Pantai Tanjung Pendam di Malam Kamis dan Malam Minggu. Pas gua tanya alasannya, Bang Abi cuma bilang, “Kalau mau pacaran dan harus nunggu Malam Minggu kan kelamaan.”. Set.. Timpuk juga nih pake granit!

Kami lalu balik ke hotel sekitar jam 8 malam, setelah perut kenyang makan malam di hmm.. Gua lupa namanya! Hahaha.. Tapi tempatnya berlokasi di simpangan jalan, pinggir jalan persis, bersebelahan dengan salon. So far, gua cocok banget sama makanan Belitong. Betah dan rasanya pengen tinggal lama di sini. Hehehe..

Habis mandi dan bebersih, ritual gua sama Dinni sebelum tidur itu ngobrol ngalor ngidul ga jelas. Dari mulai tempat yang kita datengin, makanan yang kita makan, tragedi kamera kecebur, dan akhirnyaa...

"Hehehe.."
"Kenapa sih, Ki, ketawa sendirian?"
"Ga, inget aja soal gas air mata."
Tawa kami pecah.
"Lo liat ga itu muka orang-orang pada polos banget? Sholatnya pada rajin semua?? Liat ga?!", gua kesel.
"Hahaha.. Harusnya mereka ya yang takut sama kita?"
"Iya! Harusnya kita bawa aja tuh gas air mata terus semprotin ke muka sendiri!"
"Hahahaha..", tawa kami pecah lagi.


Labels: , edit post
0 Responses

Post a Comment