Rizqi Amalia
Saya berada di sebuah ruang ukuran 3 x 4 meter dengan sofa, meja, dan beberapa foto di dinding. Saya diam, duduk manis sambil melipat kaki. Sepuluh menit kemudian dia datang.

Namanya Pak Kumis. Dia tersenyum melihat saya yang datang terlambat 1 jam dengan rambut awut-awutan. Saya bangkit, meraih tanggannya, salim.

"Malam, Pak!", sapa saya. Beliau masih setia dengan senyumannya.
"Saya mau minta pendapat Bapak.", lanjut saya.

Beliau duduk di hadapan saya memakai sarung dan kaos oblong warna putih khas bapak-bapak. Oiya, peci putih juga.
"Ada apa?", tanyanya.

"Soal kuliah dan kerjaan, Pak.", jawab saya kalem.

Saya mulai bercerita soal aupair, soal kuliah, soal rencana hidup saya padanya. Beliau senyum sambil mendengarkan dan sesekali mengangguk.

"Kamu ini bisa dapet lebih kenapa mesti terburu-buru begitu? Tinggikan kualitas kamu, ini yang penting. Nanti dengan sendirinya orang yang akan mencari kamu, bukan kamu yang minta-minta ke orang.", begitu katanya setelah mendengar cerita saya.

Saya diam.

"Cita-cita ke luar negeri itu bagus. Jangan diubah. Yang perlu diubah, pemikiran pendeknya. Pergilah ke luar negeri dengan sesuatu yang membanggakan. Kamu bisa kok, Bapak yakin.", katanya lagi melanjutkan.

"Tadi sore saya bicara dengan orang tua saya lagi mengenai aupair ke Belanda. Mereka sudah setuju, Pak."

"Ki, kamu tuh pinter loh."

Saya diam. Tertunduk.

"Begini, dulu.. blablabla..", beliau mulai menceritakan pengalaman hidupnya. Saya makin diam. Dan kalimat terakhir darinya makin menundukkan kepala saya.

"Orangtuamu nanti sedih."

Saya akhirnya menceritakan rencana hidup saya sebelum project iseng asal-asalan ini ada. Rencana kuliah, kapan mulai kerja, tujuan hidup saya, masa depan. Saya sendiri heran kenapa segampang itu mengubah rencana yang telah saya susun rapi beberapa tahun silam.

"Nah, berpikir yang seperti itu dong."

Saya diam lagi. Terngiang suara Bujen yang terdengar ragu tapi berusaha meyakinkan saya tadi sore.

"Mama sih oke aja."

Saya diam lagi.

Aupair ini bukan masalah pengalaman atau belajar bahasa semata. Tapi ini demi terpuaskannya ego saya yang kelewat gede. Ahh.. Saya ini.. Plinplan, kata pacar saya. Suka ga jelas maunya apa. Ga fokus, katanya lagi.

Yahh.. Saya kembalikan idealisme saya. Saya kubur ego saya dalam-dalam, timbulkan sedikit saja, biar saya tetap menjadi manusia utuh yang punya ego.

Mungkin dengan ngaretnya jadwal sidang, makanya saya bisa masuk UI -kampus impian saya dari SD. Mungkin dengan ga jadinya saya ke Belanda sebagai aupair, saya bisa ke Belanda untuk kuliah dengan beasiswa. Mungkin. Mudah-mudahan. Amien. Saya hanya bisa berdoa dalam hati. Selalu ada hikmah. Saya percaya. Dan Tuhan tidak pernah tidur untuk kita yang rajin berdoa.



PS. Makasih Pak Kumis, Anda telah menggembalikan idealisme dan cita-cita luhur saya. Hehehe.. Terima kasih banyak, Pak!!
0 Responses

Post a Comment