Rizqi Amalia
Saya tersesat.


Semua berawal ketika saya kehilangan idealisme beberapa tahun silam. Saya terpesona ego lalu menenggelamkan diri sekian lama tanpa berniat bangun. Saya ogah berkutat dengan tanggung jawab. Saya ini pengecut makanya takut. Ngumpet. Ngeri saya berhadapan dengan dunia.

Dia, yang saya sebut idealisme tersapu badai yang saya bikin sendiri. Ribuan kali. Tapi ya sudah, ciptakan yang lain saja. Ga mau ambil pusing. Untuk apa? Toh hidup saya. Pemikiran saya. Masa depan saya. Egoisme saya. Cuma saya.

Tapi semua berubah ketika hidup secara tidak sengaja membawa saya pada level dewasa. Tingkatan di mana tidak hanya saya, tapi ada yang lain. Keadaan di mana saya tidak boleh tidak mikirin masa depan. Saya sejauh apapun berlari, tanggung jawap tetap menghampiri. Dia terus mengikuti. Dan saya memutuskan keluar dari suaka ego.

Saya terseok. Sekian lama ngumpet ternyata bikin otak saya ngadat. Penyegaran? Nanti sajalah. Saya punya banyak waktu untuk itu. Sekarang waktunya mengumpulkan setiap detil yang hilang dari hidup. Mengembalikan lagi idealisme. Menyusun lagi masa depan. Saya bahagia bertanggung jawab. Saya kembali normal karena punya sesuatu untuk dijalani. Idealisme saya!

Semua berjalan baik sejak beberapa bulan lalu. Rencana-rencana tersusun rapi. Saya lebih bersemangat dan tau diri untuk bersyukur pada-Nya lebih rajin lagi. Dan ya, Dia sayang saya, makanya semua kembali baik. Normal. Sayang tidak terkendali. Ego bikin ini kacaw lagi.

Bayang-bayang ke luar negeri ada di depan mata. Kuliah di tempat impian sudah saya dapatkan. Dan penerimaan diri yang tak terduga datang dari keluarganya. Saya bimbang lagi. Saya lupa di mana saya menempatkan prioritas. Saya larut dalam keinginan-keinginan sampai ga tau lagi tujuannya apa. Sekuat hati menahan biar sang idealisme tidak tumbang tapi apa daya, saya tersesat dalam ego.

Saya tersesat.
Dan waktu tanpa ampun memburu.
Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment